Namun faktanya, sebagian besar rakyat tidak lagi memandang penting kampanye bahkan pemilu itu sendiri karena hal ini dianggap tidak lebih dari sekedar rutinitas lima tahunan belaka yang belum pasti akan memberikan dampak langsung terhadap perbaikan kehidupan mereka. Angka golputpun tidak terhindarkan, dalam setiap pemilihan terjadi penurunan secara beruntun partisipasi masyarakat , bahkan dalam konteks pilkada, di beberapa daerah jumlah suara golput justru lebih besar daripada suara kemenangan pasangan calon.
Adapun hal yang melatarbelakangi munculnya kekecewaan masyarakat tersebut akibat janji pemilu yang tak kunjung pernah menjadi kenyataan. Rakyat mulai sadar dan merasa hanya dibutuhkan suaranya saat pemilu, pada saat kontestan terpilih, janji kampanye sering terabaikan.
Janji kampanye para kontestan pemilu hanya menjadi omongan kosong belaka untuk mengelabui rakyat agar tertarik memilih dirinya padahal dari semula janji tersebut (mungkin) telah direncanakan untuk tidak dapat dipenuhi. Maka tidak heran bila sebagian besar rakyat menganggap janji politik sangat identik dengan kebohongan. Pemilu di mata rakyat tidak lebih dari sekadar sebuah ajang tempat orang memberikan janji-janji untuk diingkari.
Oleh karenanya, demokrasi perwakilan di Indonesia saat ini mengalami keterputusan relasi antara wakil dengan yang diwakili. Sehingga seringkali tindakan yang dilakukan oleh para wakil tidak sejalan dengan apa yang menjadi aspirasi dan keinginan dari masyarakat yang memilih.
Padahal kedaulatan di tangan rakyat, kehendak rakyatlah yang seharusnya di penuhi oleh Presiden dan Wakil Presiden terpilih, bukan malah sebaliknya, penguasa menggunakan kekuasaannya untuk menghimpun dukungan politik sebanyak-banyaknya dari partai politik yang duduk di parlemen.
Selain itu, penyebab tidak tercapainya janji politik terjadi karena kandidat jauh melebihi kemampuannya untuk menjadi politisi yang andal dan negarawan, juga ditopang oleh semakin berkembangnya sikap rasional para pemilih terutama “rasional secara materi”. Implikasinya, money politics menjadi lebih meluas sehingga perilaku pemilih cenderung mengarah pada munculnya “transaksi material” yang bercorak jangka pendek dan sesaat, bukan pada “transaksi kebijakan” antara para wakil dengan terwakil.
Pada Pilpres tahun 2019, calon presiden dan Wakil Presiden pada saat itu Jokowi dan Ma’aruf Amin memiliki janji politik yang dituangkan kedalam visi dan misi-nya sebagai berikut:
1.1 Konsekuensi janji politik yang tidak dapat direalisasikan.
Menurut ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum disebutkan pengertian Pemilihan Umum yang selanjutnya disebut Pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dari uraian pengertian Pemilu disebutkan salah satu unsurnya adalah “jujur”, artinya peserta/kontestan calon presiden dan wakil presiden seharusnya tidak boleh menyampaikan sesuatu janji kampanye yang dia ketahui tidak bisa terealisasikan atau ingkar janji.
Sebenarnya, ingkar janji dalam politik bukan hanya terjadi di Indonesia. Di beberapa negara lain pun hal ini juga terjadi. Penelitian yang dilakukan oleh Susan C. Stokes (2001), seorang guru besar Ilmu Politik Universitas Chicago terhadap 44 kasus pemilihan presiden di 15 Negara Amerika Latin selama kurun waktu 1982-1995 menunjukkan adanya kecenderungan pengingkaran yang cukup tinggi atas janji-janji kampanye. Ada gejala bahwa para politisi memang berusaha mengambil hati para pemilih ketika berkampanye, tetapi segera setelah mereka terpilih mereka menentukan kebijakan semau mereka tanpa mempedulikan preferensi para pemilihnya.
Namun demikian, banyaknya janji-janji palsu dalam kampanye tidak berarti janji politik menjadi tidak penting. Dalam sebuah negara demokrasi, janji politik adalah hal yang niscaya. Politik tanpa janji adalah politik yang buruk (Paul B. Kleden: 2013). Setidaknya ada dua arti penting janji politik. Pertama, mencerminkan visi dan misi seorang calon politisi yang akan memberikan arah dan panduan yang jelas bagi dirinya dalam mencapai sasaran yang hendak diraih bila kelak diberi amanah menduduki jabatan publik.
Kedua, janji politik adalah dasar bagi pertanggungjawaban pelaksanaan kekuasaan yang demokratis. Tanpa janji, seorang calon pemimpin akan sangat sulit untuk dinilai berhasil tidaknya atas kepemimpinannya kelak. Karena itu dalam sistem politik otoriter seorang diktator tidak perlu berjanji kepada siapapun, sebab dia memang tidak merasa perlu mempertanggungjawabkan kekuasaannya kepada siapa juga.
Memperhatikan janji politik presiden Jokowi dan Ma’aruf Amin pada saat Pilpres 2019 yang lalu, yang kemudian di formalkan melalui Peraturan Presiden tentang RPJMN 202-2024, maka sudah seharusnya didalam ketentuan tersebut dicantumkan norma yang mengatur konsekuensi apabila visi dan misi tidak dapat di realisasikan. Jika melihat pada zaman orde baru, maka Presiden dapat dimakzulkan tidak dapat mewujudkan hal-hal yang tercantum didalam ketentuan GBHN. Pertanggunjawaban GBHN oleh Pemerintah disampaikan kepada Majelis Permusyarakatan Rakyat (MPR) dalam periode waktu tertentu, dan MPR diberikan kewenangan untuk memakzulkan Presiden.
Sedangkan pada era reformasi, Presiden dan Wakil Presiden tidak mendapat tekanan yang begitu berarti dari masyarakat maupun DPR untuk mewujudkan visi dan misinya, terlebih lagi, tidak adanya konsekuasi pemakzulan didalam undang-undang apabila visi dan misi tersebut tidak dapat terlaksana.
Alasan-Alasan Presiden dan Wakil Presiden Berhenti atau dapat Diberhentikan
Terdapat dua kelompok alasan atau dasar impeachment yang disebut dalam Pasal 7 b ayat (1) UUD 1945 jo. Pasal 10 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Satu kelompok alasan tersebut adalah pelanggaran hukum yang bersifat pidana sedangkan kelompok lainnya berupa kondisi atau keadaan, baik yang bersifat fisik maupun mental, yang menyebabkan seorang presiden atau wakil presiden tidak lagi memenuhi syarat menjadi presiden atau wakil presiden.
Syarat-syarat itu disebut dalam Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 syarat-syarat tersebut diatur lebih lanjut dalam undang-undang yang merujuk pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden/Wakil Presiden, yang sekarang telah digantikan oleh Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
Jika melihat kelompok alasan impeachment dan jenis perbuatan/keadaan yang disebut Pasal 7 b ayat (1) UUD 1945 jo Pasal 10 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi serta Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945, maka perbuatan yang bersifat pelanggaran hukum pidana yang disebut dalam UUD 1945 dan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, dapat diuraikan sebagai berikut:
- Penghianatan terhadap Negara adalah tindak pidana terhadap keamanan Negara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang.
- Korupsi dan penyuapan, yaitu tindak pidana korupsi atau penyuapan sebagaimana diatur dalam undang-undang.
- Tindak pidana berat lainnya, yaitu tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih.
Alasan lain presiden dan wakil presiden sebagaimana tersebut dalam Pasal 8 UUD 1945 disebutkan bahwa: pertama, apabila seorang presiden mangkat atau meninggal, ia akan digantikan oleh wakil presiden. Kedua, jika seorang presiden berenti. Ketiga, jika seorang presiden tidak dapat melakukan kewajibannya, maka ia diganti oleh wakil presiden.
Memperhatikan uraian tersebut diatas, tidak melaksanakan janji politik atau visi dan misi bukan merupakan bagian dari salah satu alasan impeachment presiden atau wakil presiden sebagaimana yang diatur didalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sudah demikian jelasnya, bahwa janji politik tidak memiliki konsekuensi yuridis terhadap jabatan presiden dan wakil presiden, presiden dan wakil presiden dapat terus menjabat meskipun banyak janji politik yang tidak dapat direalisasikannya.
Begitupula kenyataan saat ini bahwa DPR yang diberikan kewenangan sebagai pembentuk undang-undang, penganggaran dan hak untuk mengkritik Pemerintah keliatannya tidak bertaring lagi, dan lebih memilih untuk tunduk kepada Pemerintah karena menjadi bagian dari koalisi pemerintah.
Karena faktanya, hampir seluruh partai saat ini tergabung kedalam koalisi penguasa, Presiden Jokowi bahkan memasukkan Prabowo dan Sandiaga Uno kedalam kabinetnya, yang mana kita ketahui Prabowo adalah ketua umum partai Gerindra yang menjadi lawan kontestan pada saat Pilpres 2019, dan partai Gerindra jugalah yang paling sering mengkritik kebijakan Pemerintah pada saat itu.
Mendapat penilaian negatif atau dianggap tidak berhasil mewujudkan janji politik mungkin yang paling relevan dilakukan masyarakat sebagai bahan pertimbangan untuk memilih presiden dan wakil presiden berikutnya.
1.2 upaya hukum yang dapat dilakukan oleh warga Negara terhadap janji politik yang tidak terealisasikan oleh Presiden dan Wakil Presiden terpilih
Pemilu sebagai kontrak sosial tentulah menjamin hak dan kewajiban pemilih di satu pihak dan hak serta kewajiban para pemimpin di pihak lainnya (Arbi Sanit: 2004). Hak pemilih ialah berdaulat menentukan pilihan yang dioperasikan melalui kebebasan menentukan pilihannya atau tidak memilih siapa pun dan merahasiakannya. Imbangan terhadap hak itu adalah kewajiban, berupa menjatuhkan pilihan kepada calon yang tepat secara benar berdasar pertimbangan bahwa hasilnya akan mendatangkan faedah bagi diri, golongan, masyarakat dan negara.
Sebaliknya, para kandidat dalam pemilu berhak mendapatkan suara pemilih sebanyak mungkin, sebagai syarat untuk memperoleh posisi kekuasaan negara yang diingini dan diincarnya. Operasionalisasi hak itu memungkinkannya membujuk pemilih dengan cara yang sah dan benar sesuai dengan prinsip persuasi demokratik. Konsekuensinya, adanya kewajiban untuk mempertanggungjawabkan segala upayanya dalam mendapatkan suara pemilih. Lebih dari itu, kandidat pemilu yang berhasil menjadi penguasa berkewajiban melakukan upaya secara sah untuk menunaikan janjinya ketika pemilu.
Dengan demikian, secara moral, janji adalah sesuatu yang seharusnya secara sungguh-sungguh dipegang untuk kemudian direalisasikan menjadi kenyataan, bukan sebaliknya hanya menjadi instrumen pencitraan diri untuk meraih simpati rakyat. Faktanya, kewajiban moral tersebut tidak benar-benar membentuk komitmen para wakil terpilih untuk mewujudkan janjinya. Sebab itu, perlu ada strategi guna memastikan janji tersebut ditepati.
Salah satu langkah yang bisa diambil adalah memformulasikan janji politik ke dalam bentuk janji hukum. Artinya, setiap apa yang akan dijanjikan dalam kampanye sebagai strategi mendulang dukungan masyarakat harus dituangkan dalam naskah hukum (akta notaris) yang ditandatangani oleh para kontestan pemilu dan oleh KPU mewakili rakyat sehingga akan memiliki implikasi hukum apabila terjadi wanprestasi.
Dalam perspektif hukum Hukum Tata Negara, abai terhadap janji yang berdimensi hukum dapat menjadi alasan untuk meminta pertanggungjawaban para wakil yang bisa saja berujung pada recall untuk anggota legislatif dan impeachment pada presiden.
Melegalkan janji politik sehingga berdimensi hukum menjadi sangat penting untuk menutup salah satu kelemahan pemilu langsung yaitu kecenderungannya melahirkan pemimpin yang populer di mata masyarakat walaupun mungkin tidak memiliki kemampuan sebagai pemimpin. Hal ini sangat mungkin terjadi karena melalui kampanye seorang calon dapat memoles dirinya (self-imaging) agar (seolah-olah) tampak memiliki kualitas dan kapasitas, walaupun sebenarnya yang bersangkutan sama sekali tidak memiliki keunggulan-keunggulan tersebut.
Harapannya, hal ini akan mendorong para politisi untuk membuat janji yang realistis sesuai dengan kemampuannya untuk merealisasikan dan tidak lagi mengobral janji yang sebenarnya tidak akan mampu diwujudkan. Dengan demikian, janji kampanye akan benar-benar menjadi rujukan utama bagi rakyat dalam menentukan pilihannya dalam pemilu dalam rangka menghasilkan pemimpin yang berkualitas. Hanya dengan cara demikian, pemilu di Indonesia tidak hanya akan menghasilkan demokrasi prosedural tetapi juga demokrasi substantif. Kampanye Pemilu merupakan bagian dari pendidikan politik masyarakat dan dilaksanakan secara bertanggung jawab.
Kampanye Pemilu dapat dilakukan melalui:
a. pertemuan terbatas;
b. pertemuan tatap muka;
c. penyebaran bahan Kampanye Pemilu kepada umum;
d. pemasangan alat peraga di tempat umum;
e. media sosial;
f. iklan media massa cetak, media massa elektronik, dan internet;
g. rapat umum;
h. debat pasangan calon tentang materi kampanye pasangan calon; dan
i. kegiatan lain yang tidak melanggar larangan kampanye Pemilu dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sedangkan materi kampanye meliputi:
a. visi, misi, dan program pasangan calon untuk kampanye Pemilu Presiden dan Wakil Presiden,
b. visi, misi, dan program partai politik untuk partai politik peserta Pemilu yang dilaksanakan oleh calon anggota DPR, anggota DPRD provinsi, dan anggota DPRD kabupaten/kota; dan
c. visi, misi, dan program yang bersangkutan untuk kampanye perseorangan yang dilaksanakan oleh calon anggota DPD
Dalam rangka pendidikan politik, Komisi Pemilihan Umum (“KPU”) wajib memfasilitasi penyebarluasan materi kampanye Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang meliputi visi, misi, dan program pasangan calon melalui laman KPU dan lembaga penyiaran publik.
Secara eksplisit dalam masa kampanye calon Presiden dan Wakil Presiden tidak menyampaikan janji-janji, melainkan menyampaikan visi-misi, program dan/atau citra diri dengan tujuan agar menarik pemilih untuk memilihnya.
Jika calon Presiden dan Wakil Presiden yang terpilih dikemudian hari tidak melaksanakan ‘janji politik’ atau dalam hal ini adalah visi, misi dan program yang pernah disampaikan pada masa kampanye Pemilu, maka secara yuridis tidak ada aturan yang mengatur bahwa hal tersebut dapat digugat.
Apakah janji politik (visi, misi, dan program) yang disampaikan pada masa kampanye dapat dikatakan sebagai janji dalam konteks hukum perdata sehingga jika tidak dilaksanakan dapat digugat atas perbuatan wanprestasi?
Suatu perjanjian menurut Subekti dalam bukunya Hukum Perjanjian (hal. 1), adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.
Lebih lanjut Subekti mengatakan bahwa dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, karena dua pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu.
Mariam Darus Badrulzaman menerangkan kontrak adalah "Sebuah Perbuatan hukum yang menimbulkan perikatan, yaitu hubungan hukum yang terjadi di antara dua orang atau lebih, yang terletak di dalam lapangan kekayaan dimana pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi" (Mariam Darus Badrulzaman; 1980;3).
Wirjono Prodjodikoro, menurutnya Persetujuan adalah "Suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak dalam mana suatu pihak berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau tidak melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain berhak untuk menuntut kontrak itu" (R. Wirjono Prodjodikoro 1991;1).
Herlien Budiono menjelaskan kontrak atau perjanjian adalah "Perbuatan hukum yang menimbulkan, berubahnya, hapusnya hak, atau menimbulkan suatu hubungan hukum dan dengan cara demikian, kontrak atau perjanjian menimbulkan akibat hukum yang merupakan tujuan para pihak. Jika suatu perbuatan hukum adalah kontrak atau perjanjian, orang-orang yang melakukan tindakan hukum disebut pihak-pihak" (Herlien Budiono 2009;67-72).
Oleh karena itu, ‘janji politik’ tidak termasuk janji yang dimaksudkan oleh perjanjian dalam konteks hukum perdata karena ‘janji politik’ hanya dilakukan oleh calon presiden dan wakil presiden yang berjanji pada masa kampanye, pemilih juga tidak mengikatkan diri untuk melakukan suatu prestasi dari ‘janji politik’ tersebut.
Janji politik juga bukan merupakan keputusan tata usaha Negara yang dapat dilakukan upaya gugatan dalam sengketa tata usaha Negara, menurut Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara disebutkan bahwa sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Memperhatikan uraian dari pengertian sengketa tata usaha Negara tersebut diatas, maka janji politik tidak memenuhi unsur unsur objek KTUN yang dapat dilakukan upaya hukum gugatan ke pengadilan tata usaha Negara.
Menurut Pasal 169 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, visi dan misi merupakan salah satu persyaratan presiden dan wakil presiden dalam mengikuti pemilihan presiden dan wakil presiden.
Selain itu, menurut penjelasan Pasal 229 ayat (1) huruf e menyatakan bahwa Visi, misi, dan program dari bakal Pasangan Calon dibuat berdasarkan prinsip bahwa Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut UndangUndang Dasar sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta merupakan penjabaran dari peraturan perundang-undangan.
Dengan demikian, visi dan misi dibuat bukan berdasarkan keinginan masyarakat yang mempunyai hak pilih melainkan visi dan misi dibuat dengan berpedoman pada ketentuan UUD 1945 serta merupakan penjabaran dari peraturan perundang-undangan.
Visi dan misi juga dapat dianggap sebagai syarat administratif bagi pasangan calon presiden dan wakil presiden yang ingin maju kedalam kontestasi pemilihan, padahal visi dan misi ini sangat penting dan krusial keberadaannya, mengingat visi dan misi merupakan pedoman bagi pemerintahan menjalankan kewenangan untuk mewujudkan pembangunan nasional yang merata dan berkeadilan.
Hal ini memperlihatkan bahwa visi dan misi dibuat berdasarkan kemauan undang-undang, bukan atas kehendak atau keinginan rakyat yang memilih, idealnya calon presiden dan wakil presiden dalam menyusun visi dan misi wajib menyerap aspirasi masyarakat, menurut Satjipto Rahardjo dalam Teori Progresifnya menyatakan:
“Hukum perlu kembali pada filosofi dasarnya, yaitu hukum untuk manusia. Dengan filosofi tersebut, maka manusia menjadi penentu dan titik orientasi hukum. Hukum bertugas melayani manusia, bukan sebaliknya. Oleh karena itu, hukum itu bukan merupakan institusi yang lepas dari kepentingan manusia, mutu hukum ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi pada kesejahteraan manusia.”
Merujuk pada Teori Hukum Progresif dari Satjipto Rahardjo tersebut, harusnya masyarakat diberikan ruang menyampaikan pendapat untuk menentukan visi dan misi calon presiden dan wakil presiden yang hendak dipilihnya.
Sehingga arah pembangunan nasional dapat ditentukan oleh rakyat itu sendiri, karena jika merujuk Undang-Undang tentang Pemilihan Umum, maka produk undang-undangan tersebut bisa jadi menggambarkan situasi politik yang ada pada saat undang-undang itu dibuat yang tidak relevan digunakan disituasi yang sekarang.
Kesimpulan
Dari uraian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa ada dua arti penting janji politik. Pertama, mencerminkan visi dan misi seorang calon politisi yang akan memberikan arah dan panduan yang jelas bagi dirinya dalam mencapai sasaran yang hendak diraih bila kelak diberi amanah menduduki jabatan publik.
Kedua, janji politik adalah dasar bagi pertanggungjawaban pelaksanaan kekuasaan yang demokratis. Tanpa janji, seorang calon pemimpin akan sangat sulit untuk dinilai berhasil tidaknya atas kepemimpinannya kelak. Namun secara yuridis janji politik tersebut tidak memiliki konksekuensi hukum, presiden tidak dapat dimakzulkan oleh karena janji politik dalam visi dan misinya tidak tercapai.
Adapun alasan atau dasar impeachment sesuai ketentuan Pasal 7 b ayat (1) UUD 1945 jo. Pasal 10 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi yaitu adanya pelanggaran hukum yang bersifat pidana dan hal lainnya berupa kondisi atau keadaan, baik yang bersifat fisik maupun mental, yang menyebabkan seorang presiden atau wakil presiden tidak lagi memenuhi syarat menjadi presiden atau wakil presiden.
Selanjutnya, janji politik tidak termasuk janji yang dimaksudkan oleh perjanjian dalam konteks hukum perdata karena janji politik hanya dilakukan calon presiden dan wakil presiden yang berjanji pada masa kampanye, pemilih juga tidak mengikatkan diri untuk melakukan suatu prestasi dari ‘janji politik’ tersebut.
Suatu perjanjian menurut Subekti dalam bukunya Hukum Perjanjian (hal. 1), adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.
Janji politik juga bukan merupakan keputusan tata usaha Negara yang dapat dilakukan upaya gugatan dalam sengketa tata usaha Negara, menurut Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara disebutkan bahwa sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Memperhatikan uraian dari pengertian sengketa tata usaha Negara tersebut diatas, maka janji politik tidak memenuhi unsur unsur objek KTUN yang dapat dilakukan upaya hukum gugatan ke pengadilan tata usaha Negara.
Dengan demikian, janji politik hanya dapat dipertangungjawabkan secara moral kepada masyarakat, presiden dan wakil presiden yang tidak dapat merealisasikan janji politiknya tidak akan dipilih kembali oleh rakyat karena dianggap tidak mampu membawa bagi rakyat sesuai dengan visi dan misinya.
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
Daftar Pustaka:
- Buku Dinamika Politik Hukum di Indonesia, Prof. Dr. Drs. H. Abdul Manan, S.H., S.IP., M.Hum, Penerbit: Kencana 2018.
- Buku Teori Hukum “Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi”, Dr. Bernard L. Tanya, SH., MH, penerbit: Genta Publishing 2010.
- Hukum Online, “Bisakah Menggugat Janji Politik Caleg/Capres yang Tidak Terealisasi? 24 Januari 2019, link baca: https://m.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt52de64df4676e/bisakah-menggugat-janji-politik-caleg-capres-yang-tidak-terealisasi/
- Hukum online, yang berjudul “Ciri-ciri Sengketa Tata Usaha Negara”, tanggal 2 Mei 2019, link baca: https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5cc25b8e8645e/ciri-ciri-sengketa-tata-usaha-negara/
- Artikel pada website Litigasi.co.id, yang berjudul “Kontrak Menurut Ahli”, tanggal 9 Oktober 2019, link baca: https://litigasi.co.id/hukum-perdata/20/kontrak-menurut-ahli.
Post a Comment for "Konsekuensi Janji Politik Pada Kampanye Pemilihan Calon Presiden dan Wakil Presiden"